Senin, 29 Oktober 2012

The Ceylon Jungle Fowl

Ayam hutan Srilangka/Ceylon Junglefowl (Gallus lafayetii, Lesson 1831)
Ayam hutan Srilangka adalah burung endemik yang memiliki daerah sebaran terbatas di Pulau Srilangka. Nama ilmiah ayam ini, didedikasikan oleh Rene Lesson, seorang ahli bedah angkatan laut dan naturalis berkebangsaan Perancis, untuk menghormati seorang bangsawan di negaranya, Gilbert du Motier-Marquis de La Fayette. Rene Lesson tercatat sebagai ilmuwan Eropa pertama yang melihat burung Cendrawasih di habitat aslinya, di Maluku dan Papua.
Ayam hutan Srilangka memiliki warna dasar hitam, dengan warna kuning keemasan di leher dan warna jingga gelap di sekitar punggung. Wajah berwarna merah dengan jengger merah berbentuk bilah besar yang bergerigi. Bagian tengah jengger berwarna kuning. Sepasang gelambir cukup besar menggantung di bawah dagu. Kaki berwarna kuning kemerahan dengan taji yang agak lurus dan runcing. Ekor memiliki warna hitam hijau keunguan dengan susunan yang serupa dengan ayam hutan merah.
Panjang ayam jantan berkisar 66-73 cm dengan berat 0,8-1,2 kg. Betina jauh lebih kecil, dengan panjang 30-35 cm dan berat 0,5-0,6 kg. Ukuran jengger akan mengecil setelah melewati musim kawin. Profil ayam hutan Srilangka dapat dilihat pada Gambar 27. berikut ini.

Gambar 27. Ayam hutan Srilangka. Sumber: Wikipedia.
Ayam betina memiliki warna tubuh coklat yang suram. Bulu dada agak besar dengan warna dasar coklat. Tepi bulu dada berwarna putih. Ciri khas dari ayam hutan Srilangka betina terletak pada bulu sayapnya yang berwarna belang antara coklat dan putih (Gambar 28). Betina bersarang di tanah dengan 2-4 telur berwarna krem atau coklat.
Ayam hutan Srilangka memiliki perilaku bersarang yang unik dibandingkan ayam hutan lainnya. Ayam hutan betina cenderung bersifat polyandri dan berhubungan dengan beberapa pejantan yang masih bersaudara.
Pejantan paling dominan (pejantan alfa), bertugas mengawini betina dan siaga melindungi betina. Pejantan alfa memiliki bunyi kokok tertentu yang berfungsi seperti alarm, jika sesuatu yang berpotensi bahaya mendekati sarang.
Pejantan Beta yang lebih inferior, bertugas menjaga dan berpatroli agak jauh dari sarang betina untuk melindungi sarang dari predator atau pemangsa seperti ular dan musang. Telur akan menetas setelah dierami selama 20 hari.

Gambar 28. Ayam hutan Srilangka Betina. Sumber: Wikipedia.
Sebagaimana ayam hutan lainnya, ayam hutan Srilangka bersifat terestrial. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari makanan dengan mengais tanah di lantai hutan untuk mencari biji-bijian, buah yang jatuh dan serangga. Anak ayam yang masih muda sangat membutuhkan asupan makanan hidup, berupa berbagai jenis serangga dan juvenil kepiting darat. Sedangkan ayam dewasa memiliki menu yang lebih bervariasi.
Ayam jutan Srilangka sangat peka terhadap penyakit yang menyerang ayam ras atau ayam kampung pada umumnya. Ayam ini juga terbiasa memakan mangsa yang hidup, sehingga tidak bisa mengkonsumsi makanan buatan pabrik. Oleh karena itu, ayam hutan Srilangka sangat sulit dipelihara di penangkaran.
Status Konservasi
Populasi ayam hutan Srilangka yang masih banyak ditemukan di habitatnya, membuat IUCN memasukkan ayam ini dalam kategori Least Concern atau berisiko rendah untuk mengalami kepunahan. Jika populasi ayam ini dalam kondisi kritis di habitat aslinya, akan sangat sulit mencegahnya dari kepunahan, sebab ayam hutan Srilangka ini cukup sulit dikembangbiakkan di penangkaran. Wali Kukula, demikian masyarakat setempat memberi nama ayam hutan ini, juga dikenal sebagai burung nasional 

The Grey Jungle Fowl

Ayam hutan abu-abu/Grey Junglefowl (Gallus sonneratii Temminck, 1813)
Ayam hutan abu-abu adalah jenis ayam hutan endemik yang memiliki daerah sebaran terbatas di India. Ayam jantan memiliki warna dasar tubuh hitam dengan bintik berwarna merah tanah. Bulu di bagian punggung dan dada tumbuh memanjang seperti bulu ayam bekisar, didominasi warna abu-abu dengan pola yang indah. Bulu leher tidak sepanjang bulu ayam hutan merah, berwarna lurik hitam dan kuning.
Sebagaimana ayam hutan merah, ayam hutan abu-abu juga menggugurkan bulu lehernya, setelah lewatnya musim berbiak. Nama ilmiah ayam hutan merah, didedikasikan oleh J. C. Temminck, direktur Museum sejarah alam Leiden yang pertama, untuk menghormati penjelajah Perancis, Pierre Sonnerat.
Susunan bulu ekor sama dengan ayam hutan merah, kecuali bentuk bulunya yang lebih lebar dengan ujung yang tumpul. Jengger berwarna merah berpial bilah dengan gerigi yang halus. Muka juga berwarna merah dengan sepasang gelambir di bawah dagu. Kaki berwarna merah.
Berbeda dengan ayam hutan merah, ayam hutan abu-abu ini tidak mengepakkan sayapnya sebelum berkokok. Profil ayam hutan abu-abu dapat dilihat pada Gambar 24 di bawah ini :
Gambar 24. Ayam hutan abu-abu. Sumber: www.clementsfrancis.com-2007
Ayam betina memiliki warna yang lebih suram. Pial/jengger dan gelambir di kepala tidak ditemukan, sebagaimana ayam hutan merah betina. Bulu bagian atas berwarna kuning kecoklatan bercampur merah tanah, ekornya berwarna coklat kuning kehitaman.
Ciri yang paling menyolok adalah bulu dadanya yang tumbuh memanjang dan melebar berwarna putih dengan ring hitam menitari tepi bulu. Pola dan warna bulu dada ini menjadikan ayam hutan abu-abu betina sebagai ayam betina terindah dibandingkan dengan spesies ayam hutan betina lainnya. Profil ayam ini dapat dilihat pada Gambar 25 berikut ini.
Gambar 25. Ayam hutan abu-abu betina.
Ayam hutan abu-abu menyukai habitat hutan yang tidak terlalu lebat dengan rumput yang sedikit atau tidak ada rumput sama sekali. Makanannya terdiri dari berbagai macam biji-bijian, buah hutan dan serangga terutama rayap.
Musim berbiak berkisar bulan Pebruari hingga Mei. 4 hingga 7 butir telur dierami betina di dalam sarang selama 21 hari.
Masyarakat lokal menyebut ayam ini Komri dalam bahasa Rajasthan, Geera kur atau Parda komri dalam bahasa Gondi, Jangli Murghi dalam bahasa Hindi, Raan kombdi dalam bahasa Marathi, Kattu Kozhi dalam bahasa Tamil and Malayalam, Kaadu koli dalam bahasa Kannada dan Tella adavi kodi dalam bahasa Telugu.
Status Konservasi
Ayam hutan abu-abu dalam daftar merah IUCN, dikategorikan berisiko rendah (Least Concern) dari kepunahan. Ancaman utama adalah perburuan untuk diambil dagingnya. Bulu ayam yang indah juga dijadikan sebagai umpan untuk memancing ikan oleh penduduk setempat. Bulu ayam akan dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai serangga atau lalat yang sangat disukai ikan. Umpan ini didesain untuk mengapung di atas permukaan air. Contoh umpan dari bulu dapat dilihat pada Gambar 26 di bawah ini
Gambar 26. Umpan pancing dari bulu ayam hutan abu-abu yang dibentuk mirip serangga. Sumber: Wikipedia.

Minggu, 28 Oktober 2012

The Red Jungle Fowl


1. Ayam hutan Merah/Red Junglefowl (Gallus gallus Linnaeus, 1758)
Ayam hutan merah adalah jenis ayam liar yang paling dikenal. Daerah sebarannya sangat luas, mulai dari bagian timur Pakistan, India utara dan timur, Myanmar, barat daya Yunnan (RRC), Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Guangxi dan Pulau Hainan (tenggara RRC) hingga Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa dan Bali. Ayam ini kemudian diintroduksi ke Kalimantan, Filipina, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Tepian hutan dengan semak terbuka diselingi perdu, menjadi habitat favorit bagi ayam hutan merah.

Gambar 1. Bagian-Bagian tubuh Ayam hutan merah.
Ayam hutan merah termasuk jenis burung berukuran sedang hingga besar. Panjang total jantan berkisar antara 65-75 cm dengan kisaran berat 0,7 kg – 1,5 kg. Sedangkan betina memiliki panjang 40-45 cm dengan berat 0,5 – 1 kg.
Menurut MacKinnon et al. (2002), ciri-ciri ayam hutan merah jantan adalah jengger, muka dan gelambir berwarna merah, bulu leher terdiri dari kombinasi warna kuning, jingga, coklat dengan strip hitam vertikal di tengah, bulu tengkuk (tidak kelihatan di Gambar 1), penutup ekor dan penutup sayap berwarna hitam bercampur hijau atau biru perunggu.
Bulu mantel berwarna coklat berangan, bulu ekor panjang, dengan warna hitam bercampur hijau berkilauan. Tubuh bagian bawah juga berwarna hitam kehijauan. Kaki abu-abu kebiruan dengan taji yang melengkung dan runcing.  Secara sederhana, bagian-bagian tubuh ayam merah dapat dilihat pada Gambar 1 di atas.
 
Gambar 2. Sepasang Ayam hutan merah. Jantan (kiri) dan betina (kanan). Sumber: http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
Ayam hutan merah betina berwarna coklat suram. Bulu leher kuning kecoklatan dengan coretan hitam vertikal di tengah bulu. Ayam hutan betina yang masih asli sama sekali tidak memiliki jengger, gelambir dan taji.  Kalaupun ada, ukuran jengger dan gelambirnya sangat kecil. Profil ayam hutan merah jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 2 di atas.

Gambar 3. Ayam hutan merah jantan sedang berkokok di atas pohon.
Kukuruyuuuuuuk….. Ayam hutan jantan akan berkokok nyaring dari atas pohon, saat mentari mulai muncul di batas cakrawala. Kokoknya keras tapi tidak sepanjang kokok ayam kampung. Kokok ayam hutan juga tidak sepagi ayam kampung yang mulai berkokok sejak dinihari. Hal ini untuk menghindari datangnya hewan pemangsa, saat hari masih gelap. Jika tanah sudah benar-benar terang, ayam hutan akan turun menuju semak terbuka untuk mencari makan.
Ayam jantan memiliki beberapa macam suara kokokan dan panggilan yang kompleks. Kokok yang nyaring berfungsi untuk menegaskan kehadiran ayam jantan di tempat tertentu atau sebagai peringatan terhadap ayam jantan lain agar tidak melanggar batas teritorial. Saat menemukan makanan, ayam jantan akan memanggil betinanya dengan suara tertentu untuk mendekat agar lebih mudah dirayu. Jika melihat burung elang atau hewan pemangsa lainnya, ayam jantan akan memekik keras mengeluarkan nada peringatan.

Gambar 4. Ayam hutan merah jantan asli dengan tipe cuping berwarna merah, sedang mengais tanah mencari makan. Sumber: http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
Setelah turun dari pohon, ayam hutan akan segera sibuk mengais tanah dan serasah dedaunan untuk mencari serangga, biji-bijian, bunga, buah-buahan yang jatuh dari pohon, pucuk rumput dan hewan kecil lainnya (Gambar 4). Kadang-kadang, ayam hutan akan menelan beberapa butir pasir, untuk membantu mencerna biji-bijian dalam temboloknya.
Ayam jantan dewasa yang dominan, biasanya akan mencari makan dengan beberapa selir betinanya. Ayam betina yang memiliki anak yang baru menetas, cenderung agresif dan sedikit menjaga jarak dari ayam dewasa lainnya. Sedangkan pejantan dan betina muda, kadang-kadang soliter atau berkelompok menurut jenis kelaminnya masing-masing.
 
Gambar 5. Dua ekor ayam hutan jantan sedang bertarung. Sumber: http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm.
Saat musim berbiak tiba, ayam jantan akan bertarung memperebutkan betina atau mempertahankan daerah teritorialnya (Gambar 5). Ayam jantan terkuat akan mendapatkan daerah teritorial yang lebih luas dan menarik perhatian beberapa ekor ayam betina.
Kemampuan berkelahi ayam hutan jantan tergolong sangat baik. Serangannya cepat. Gerakan kakinya juga gesit saat menghindar. Kelihaiannya dalam melompat dan bertempur di udara, jauh di atas rata-rata ayam domestik. Gaya bertarungnya sangat indah seperti ayam Filipina. Namun, bobot tubuhnya yang ringan menyebabkan ayam hutan tidak tahan pukul. Ayam hutan juga takut menghadapi ayam domestik yang berukuran jauh lebih besar seperti ayam kampung atau ayam Bangkok.
Bagi ayam betina, memilih pejantan yang paling kuat adalah syarat mutlak untuk hidup di alam liar.  Pejantan terkuat akan menghasilkan keturunan yang lebih baik, dapat memberikan perlindungan dari predator karena tingkat kewaspadaannya yang tinggi dan memperoleh akses bahan makanan yang lebih banyak di daerah teritorial yang lebih luas.

Gambar 6. Sarang ayam hutan merah di habitat aslinya. Sumber: http://rimbundahan.org/(2005).
Ayam hutan merah membuat sarangnya di atas tanah (Gambar 6). Sarang ini berada di dalam semak-semak,  tertutup oleh serasah daun dan ranting yang kering, agar terlindung dari sengatan cahaya matahari dan hujan. Betina akan bertelur sebanyak 2-12 butir setiap musim berbiak (tergantung sub-spesiesnya). Telur ini akan dierami selama 21 hari atau lebih hingga menetas.
 
Gambar 7. Dua anak ayam hutan dan tiga anak ayam kampung umur satu pekan. Perhatikan bulu sayap yang tumbuh sangat cepat pada anak ayam hutan. Bulu sayap ini berwarna putih abu-abu. Sayap anak ayam kampung tumbuh lebih lambat dan tetap berwarna coklat. Sumber: http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html.
Anak ayam yang baru menetas berwarna kuning gelap dengan garis coklat besar di punggung dan kepalanya untuk berkamuflase. Bulu sayap tumbuh cepat berwarna coklat abu-abu keputihan (Gambar 7). Anak ayam umur satu pekan sudah mampu terbang dalam jarak pendek. Dalam beberapa pekan, anak ayam ini dapat terbang dengan cepat untuk menghindari pemangsa.
Menurut Dr. Shaik Mohamed Amin Babjee, seorang peneliti ayam hutan dari Malaysia, anak ayam hutan sangat sensitif terhadap gangguan sehingga mudah mengalami stress. Ketahanan tubuh juga tidak sekuat anak ayam kampung sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Ayam hutan betina akan mengasuh anaknya hingga mampu mandiri dan mencari makan sendiri. Ayam betina mencapai umur dewasa dan siap kawin saat berumur 8-10 bulan. Sedangkan ayam jantan, mencapai usia dewasa sepenuhnya saat berumur sekitar 12 bulan. Dibandingkan jenis ayam lainnya, ayam hutan memiliki laju pertumbuhan yang lambat.

Selasa, 09 Oktober 2012

Penyakit pada Ayam dan Cara Pengobatannya

INFEKSI BAKTERI


SNOT (CORYZA)

Disebabkan oleh bakteri Haemophillus gallinarum. Penyakit ini biasanya menyerang ayam akibat adanya perubahan musim. Perubahan musim biasanya mempengaruhi kesehatan ayam. Snot banyak ditemukan di daerah tropis. Penyakit ini menyerang hampir semua umur ayam. Angka kematian yang ditimbulkan oleh penyakit ini mencapai 30% tetapi angka morbiditas atau angka kesakitannya mencapai hingga 80%. Snot bersifat kronis, biasanya berlangsung antara 1-3 bulan. Ayam betina berumur 18-23 minggu paling rentan terhadap penyakit ini. Namun menurut pengalaman kami, ayam berumur kurang dari 16 minggu mempunyai angka kematian yang cukup tinggi jika terkena penyakit ini. Sedangkan ayam yang sedang bertelur dapat disembuhkan tetapi produktivitas telur menurun hingga 25%. Penularan Snot dapat melalui kontak langsung, udara, debu, pakan, air minum, petugaskandang dan peralatan yang digunakan.

Dari berbagai referensi yang kami dapatkan gejala penyakit Snot pada ayam adalah sbb:
-     ayam terlihat mengantuk, sayapnya turun
-     keluar lendir dari hidung, kental berwarna kekuningan dan berbau khas
-     muka dan mata bengkak akibat pembengkakan sinus infra orbital
-     terdapat kerak dihidung
-     napsu makan menurun sehingga tembolok kosong jika diraba
-     ayam mengorok dan sukar bernapas
-     pertumbuhan menjadi lambat.

Pengobatan Snot yang diberikan adalah preparat sulfat seperti sulfadimethoxine atau sulfathiazole, menurut beberapa penulis penyakit ini dapat diobati dengan antibiotika seperti Ultramycin, imequil atau corivit. Kami menggunakan preparat enrofloksacyn atau lebih dikenal dengan Enflox produksi SHS dan saat ini kami sedang mencoba menggantinya dengan preparat amphycillin dan colistin atau lebih dikenal dengan Amphyvitacol produksi Vaksindo. Seorang penulis menyebutkan pengobatan tradisional juga dilakukan dengan memberikan susu bubuk yang dicampur dengan air dan dibentuk sebesar kelereng sesuai dengan bukaan mulut ayam dan diberikan 3 kali sehari.
Sedangkan pengobatan tradisional yang kami lakukan adalah memberikan perasan tumbukan jahe, kunir, kencur dan lempuyang. Air perasan ini dicampurkan pada air minum. Sedangkan ampasnya kami campurkan pada sedikit pakan. Selain ramuan ini menghangatkan tubuh ayam, ramuan ini juga berkhasiat untuk menambah napsu makan ayam. Selain memberikan obat yang diberikan bersama dengan air minum, kami juga memberikan obat secara suntikan pada ayam yang sudah parah. Obat yang kami berikan adalah Sulfamix dengan dosis 0.4 cc/kg BB ayam. Hal lain yang perlu dilakukan karena penyakit ini mempunyai penularan yang sangat cepat dan luas, ayam yang terkena Snot harus sesegera mungkin dipisahkan dari kelompoknya.
Upaya pencegahan yang dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan kandang dan lingkungan dengan baik. Kandang sebaiknya terkena sinar matahari langsung sehingga mengurangi kelembaban. Kandang yang lembab dan basah memudahkan timbulnya penyakit ini.


PULLORUM (BERAK KAPUR)
Berak kapur disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum. Berak kapur sering ditemukan pada anak ayam umur 1-10 hari.

Gejala yang timbul adalah :
-     napsu makan menurun
-     kotoran encer dan bercampur butiran-butiran putih seperti kapur
-     bulu dubur melekat satu dengan yang lain
-     jengger berwarna keabuan
-     badan anak ayam menjadi menunduk
-     sayap terkulai
-     mata menutup

Penulis yang lain mengatakan gejala anak ayam yang terkena berak kapur selain gejala yang disebutkan di atas, anaka ayam akan terlihat pucat, lemah, kedinginan dan suka bergerombol mencari tempat yang hangat.
Berbeda dengan ayam dewasa, gejala berak kapur tidak nyata benar. Ayam dewasa yang terkena berak kapur akan mengalami penurunan produktivitas telur, depresi, anemia, kotoran encer dan berwarna kuning.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga sanitasi mulai dari mesin penetasan hingga sanitasi kandang dan melakukan desinfeksi kandang dengan formaldehyde sebanyak 40%. Ayam yang terkena penyakit sebaiknya dipisahkan dari kelompoknya, sedangkan ayam yang parah dimusnahkan.
Pengobatan Berak Kapur dilakukan dengan menyuntikkan antibiotik seperti furozolidon, coccilin, neo terramycin, tetra atau mycomas  di dada ayam. Penulis lain menyebutkan pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan preparat sulfonamide.


BERAK HIJAU
Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti, demikian pula pengobatannya. Selama ini penyakit ini diduga disebabkan oleh bakteri sejenis Salmonella pullorum. Penularan berak hijau  sangat mudah yaitu melalui kontak langsung termasuk saat jantan mengawini betina dan melalui pakan dan minuman yang terkontaminasi dengan ayam yang sakit. Pengaruh penyakit ini dapat sampai ke DOC keturunan induk yang sakit.

Gejala penyakit ini adalah:
-          jengger berwarna biru
-          mata lesu
-          napsu makan menurun
-          sekitar pantat terlihat memutih dan lengket.

Upaya pencegahan merupakan hal utama antara lain dengan menjaga sanitasi kandang, memisahkan antara ayam yang sakit memberikan pakan yang yang baik.
Jika ayam yang terinfeksi mengalami kematian, lebih baik ayam tersebut dibakar agar bakteri tersebut ikut mati dan tidak menular ke ayam yang lain.


KOLERA
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Pasteurella gallinarum atau Pasteurella multocida. Biasanya menyerang ayam pada usia 12 minggu. Penyakit ini menyerang ayam petelur dan pedaging. Serangan penyakit ini bisa bersifat akut atau kronis. Ayam yang terserang kolera akan mengalami penurunan produktivitas bahkan mati. Bakteri ini menyerang pernapasan dan pencernaan.
Kolera dapat ditularkan melalui kontak langsung, pakan, minuman, peralatan, manusia, tanah maupun hewan lain. Pada serangan akut, kematian dapat terjadi secara tiba-tiba.

Sedangkan pada serangan kronis didapatkan gejala sbb:
-     napsu makan berkurang
-     sesak napas
-     mencret
-     kotoran berwarna kuning, coklat atau hijau berlendir dan berbau busuk
-     jengger dan  pial bengkak serta kepala berwarna kebiruan
-     ayam suka menggeleng-gelengkan kepala
-     persendian kaki dan sayap bengkak disertai kelumpuhan
-     lesi yang didapatkan pada unggas yang mengalami kematian pada kolera akut antara lain adalah :
+    perdarahan pintpoint pada membran mukosa dan serosa dan atau pada lemak abdominal
+    inflamasi pada 1/3 atas usus kecil
+    gambaran “parboiled” pada hati
+    pembesaran dan pembengkakan limpa
+    didapatkan material berbentuk cream atau solid pada persendian

Diagnosis secara tentative dapat didirikan atas riwayat unggas, gejala dan lesi postmortem. Sedangkan diagnosis definitive didapatkan pada isolasi dan identifikasi organisme ini.
Tindakan pencegahan sangat penting dilakukan antara lain dengan menjaga agar litter tetap kering, mengurangi kepadatan kandang, menjaga kebersihan peralatan kandang dan memberikan vitamin dan pakan yang cukup agar stamina ayam tetap terjaga.
Pengobatan kolera dapat dilakukan dengan menggunakan preparat sulfat atau antibiotik seperti noxal, ampisol atau inequil.


NGOROK  (CRD) 
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycoplasma galisepticum. Biasanya menyerang ayam pada usia 4-9 minggu. Penuluaran terjadi melalui kontak langsung, peralatan kandang, tempat makan dan minum, manusia, telur tetas atau DOC yang terinfeksi.

Seorang penulis menyebutkan bahwa gejala CRD ini mirip dengan Snot atau Coryza yaitu:
-          batuk-batuk
-          napas berbunti atau ngorok
-          keluar cairan dari lubang hidung
-          nafsu makan turun
-          produksi telur turun
-          ayam suka menggeleng-gelengkan kepalanya

Sedangkan penulis lain mengatakan gejala yang timbul pada CRD adalah:
-     ayam kehilangan napsu makan secara tiba-tiba dan terlihat lesu
-     warna bulu pucat, kusam dan di beberapa lokasi terjadi perlengketan terutama di sekitar anus
-     terjadi inkoordinasi saraf
-     tinja cair dan berwarna putih

Pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari cara yang paling sederhana yaitu tidak membeli DOC dari produsen yang tidak diketahui  dan melakukan sanitasi kandang.
Pengobatan CRD pada ayam yang sakit dapat diberikan baytrit 10% peroral, mycomas dengan dosis 0.5 ml/L air minum, tetraclorin secara oral atau bacytracyn yang diberikan pada air minum.


COLIBACILLOSIS
Penyebab penyakit ini adalah Escherichia coli. Problem yang ditimbulkan dapat infeksi akut berat dengan kematian yang tiba-tiba dan angka kematian yang tinggi hingga infeksi ringan dengan angka kesakitan dan kematian yang rendah.infeksi dapat terjadi pada saluran pernapasan, septicemia atau enteritis karena infeksi pada gastrointestinal. Penyakit ini dapat berdiri sendiri atau diikuti oleh infeksi sekunder. Infeksi sekunder yang menyertai penyakit ini adalah Mycoplasma gallisepticum. Semua umur dapat terkena penyakit ini, namun yang paling banyak adalah ayam usia muda.
Gejala yang ditimbulkan pada penyakit ini disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh bakteri akibat pertumbuhan dan multiplikasi. Invasi primer terjadi pada system pernapasan dan system gastrointestinal. Omphalitis atau infeksi pada anak ayam terjadi karena penutupan tali pusat yang kurang baik atau karena invasi bakteri melalui cangkang telur pada saat inkubasi.

Berikut ini gejala yang timbul pada penyakit ini adalah:
-          napsu makan menurun
-          ayam lesu dan tidak bergairah
-          bulu kasar
-          sesak napas
-          kotoran banyak menempel di anus
-          diare
-          batuk

Pada septicemia akut dapat menyebabkan kematian yang tiba-tiba.

Pada pembedahan akan didapatkan:
-     dehydrasi
-     bengkak dan kongesti pada hati, limpa dan ginjal
-     perdarahan pinpoint pada organ viscera
-     eksudat fibrinous pada kantung udara, kantung jantung dan permukaan jantung, hati dan paru (sangat karakteristik)
-     usus menipis dan inflamasi serta mengandung mucous dan area perdarahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang seperti menjaga ventilasi udara, litter yang terjaga kebersihannya, secara teratur melakukan desinfeksi terhadap peralatan dan fasilitas lainnya. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga kualitas pakan dan air minum, kepadatan kandang harus diperhatikan, penanganan mesin penetas telur dan menjauhkan ayam dari stress yang dapat menurunkan daya tahan tubuh.
Pengobatan Colibasillosis dapat dilakukan dengan obat-obat sulfa, neomisin, streptomisin dan tetrasiklin. Meskipun demikian, menurut info yang lain dikatakan pengobatan penyakit ini cenderung susah dan tidak menentu.

Kawin Suntik (IB) pada Ayam

  
Sperma Ayam
            Sperma didefinisikan sebagai ekskresi dari alat kelamin  jantan yang diejakulasikan secara normal kedalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi tetapi dapat pula ditampung dengan berbagai cara untuk keperluan Inseminasi Buatan (IB) (Toelihere, 1993). Produksi sperma mempunyai kualitas tinggi tergantung oleh pejantan yang dipelihara dalam keadaan baik (hafez, 1993). Nalbandov (1990) menyatakan bahwa sperma adalah campuran dari spermatozoa dan plasma sperma.
            Spermatozoa unggas terdiri dari bagian kepala, tengah dan bagian ekor. Akrosom terbentuk dari pengembangan apparatus golgi pada saat terjadinya spermatogenesis, sedangkan bagian tengah dan bagian ekor terbentuk dari perkembangan mitokondria dan cytoskeleton, dimana bagian tengah dan bagian ekor menentukan motilitas spermatozoa (Etches, 1996). Toelihere (1993) menyatakan bahwa sperma unggas mempunyai bentuk yang jauh berbeda dengan sperma ternak lainnya. Sperma unggas mempunyai kepala yang berbentuk silinder panjang dan akrosom yang runcing. Spermatozoa unggas mempunyai panjang 100 µm, lebar o,5 µm, volume 10 µm3, dan berdiameter 6µm (Etches, 1996).
            Plasma sperma pada ayam terdiri dari komponen-komponen seperti glukosa, glutamat, laktat, piruvat, α-ketoglutamat, karnilin, asetil karnitin, protein, dan ion-ion seperti Cl-, Na+­­, K+, Ca2+ (Etches, 1996). Cairan dalam sperma merupakan plasma yang mengandung sejumlah bahan organik dan anorganik. Ion organik utama adalah sodium dan khlorin, di samping itu terdapat kalsium dan magnesium dalam jumlah sedikit, dan potasium dalam jumlah yang banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa ion anorganik tersebut dalam viabilitas spermatozoa (Bearden dan Fuquay, 1997).
            Volume sperma ayam per ejakulasi sekitar 0,2 ml sampai 0,5 ml dengan rata-rata 0,25 ml (Hafez, 1993), sedangkan Etches (1996) menyatakan bahwa volume sperma ayam berkisar antara 0,1 sampai 0,9 ml. Sel sperma mulai kehilangan integrasinya beberapa saat setelah sperma dikoleksi dari ayam jantan sehingga akan menurunkan kemampuan dalam membuahi. Selanjutnya dijelaskan bahwa daya tahan hidup sel sperma unggas pada temperatur kamar hanya mampu bertahan selama 30 menit sejak diejakulasikan, kemudian sedikit demi sedikit sel sperma akan melemah sehingga fertilitas yang dihasilkan akan menurun sampai titik terendah yaitu nol persen pada beberapa jam kemudian (Tri-Yuwanta et al., 1998).

Penampungan Sperma Ayam
            Berbagai metode penampungan sperma untuk inseminasi buatan (IB) telah dikembangkan antara lain: metode pengurutan, elektroejakulasi, dan vagina buatan (Toelihere, 1993). Diantara metode tersebut penampungan sperma pada unggas lebih efektif dan menggunakan cara pengurutan pada bagian abdominal (Etches, 1996). Sastrodihardjo dan Resnawati (2003) menyatakan bahwa penampungan sperma dapat dilakukan dengan cara pengurutan atau massage pada bagian punggung pejantan, dimulai dari pangkal leher terus ke punggung hingga ke pangkal ekor dan diikuti dengan perut bagian belakang (abdomen) menuju ke kloaka. Pengurutan ini diulangi beberapa kali sehingga ayam pejantan menunjukkan libido maksimal yang ditandai oleh meregangnya bulu ekor ke atas dan mencuatnya kloaka.
            Pada penampungan komersial yang besar, penampungan sperma ayam dilakukan dengan menggunakan suatu alat penghisap khusus untuk menampung sperma langsung dari organ kopulatoris pejantan dan dihisap kedalam suatu botol thermos yang dipertahankan pada suhu 10 sampai 15oC yaitu suhu yang dapat memperlambat aktifitas metabolik spermatozoa tanpa merusak sel (Toelihere, 1993). Penampungan sperma pada ayam dapat dilakukan dengan metode vagina buatan yaitu suatu cara yang memerlukan keterampilan dan kesabaran tinggi. Pada ayam hutan jantan dapat dilakukan dengan ayam pilihan atau yang telah terbiasa dengan “kawin dodokan” (dipancing dengan induk dipegang), bila birahi ayam hutan jantang telah memuncak dan menaiki ayam betina pemancing, maka vagina buatan segera ditempatkan pada penis yang telah menyembul hingga terjadi ejakulasi (Tarigan dan Hermanto, 1993). Etches (1996) menyatakan bahwa pengambilan sperma pada unggas dapat dilakukan melalui penyedotan (pengambilan sperma dari bagian ampula menggunakan alat penyedot yang mengandung pengencer sperma bersuhu 15 oC).

Pengenceran Sperma
Pengenceran sperma merupakan usaha yang dilakukan untuk menjaga kualitas sperma tetap baik. Penambahan pengencer bertujuan untuk memperpanjang daya hidup spermatozoa, sehingga dapat digunakan dalam waktu yang relatif lama (Toelihere, 1993). Pengencer yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain: bahan pengencer harus isotonik dengan sperma, mempunyai kesamaan konsentrasi ion bebas, berfungsi sebagai penyangga, melindungi sperma dari cold shock selama pendinginan, mengandung nutrien bagi metabolisme spermatozoa, dan mengendalikan kontaminasi  mikrobia (Bearden dan Fuquay, 1997).
            Menurut Etches (1996) larutan NaCl dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengencer sperma unggas. Ridwan (2009) berpendapat bahwa larutan NaCl fisiologis 0,9% merupakan larutan isotonis dengan plasma darah yang berfungsi sebagai pengencer semen karena memiliki tekanan osmotik sama dengan semen.

Perkawinan
            Perkawinan pada unggas dapat dilakukan secara alam dan perkawinan secara buatan (Ensminger, 1980). Inseminasi buatan pada ayam dapat dikatakan sebagai teknik yang lebih baik dibanding dengan perkawinan secara alami karena perkembangan dan kemampuan testis pada ayam jantan semakin menurun selaras dengan umur ayam (Tri-Yuwanta dan Nys, 1990). Inseminasi buatan pada unggas merupakan bioteknologi yang penting dalam pelaksanaan breeding dan reproduksi ayam, selain itu juga digunakan untuk menguji pejantan untuk mendapatkan pejantan yang bermutu tinggi serta untuk meningkatkan breeding (Lake, 1983). Inseminasi buatan pada unggas tergantung pada ketersediaan sperma pada setiap inseminasi pada induk-induk betinadalam periode pemeliharaan. Inseminasi dilakukan dengan volume sperma, pengencer sperma, dan dosis dengan jumlah spermatozoa per induk betina yang sudah ditetukanterlebih dahulu (Wishart, 1987 dalam Froman, 1995). Inseminasi buatan meliputi penempatan sperma minmal 100-200 juta spermatozoa (progresif) dalam saluran vagina ayam betina. Kemampuan spermatozoa  untuk hidup dalam saluran reproduksi ayam betina maksimal 21 hari, spermatozoa disimpan dalam glandula oviduct (Tri-Yuwanta, 1995).
            Waktu yang ideal untuk memperoleh fertilitas yang tinggi adalah 6-10 hari (rata-rata 7 hari). Periode fertil atau maksimum fertil dihitung mulai hari ke 2 setelah IB dan berhubungan dengan kondisi fisiologis ayam pada saat proses pembentukan telur, jumlah sperma, dan kualitas sperma yang disimpan ( Hafez, 1987). Kunci pokok keberhasilan inseminasi tergantung pada jumlah spermatozoa yangterkumpuldipermukaanoocyt setelah ovulasi dan kehati-hatian dalam memperlakukan spermatozoa karena spermatozoa pada unggas mudah rusak dan cepat mati ( Wishart, 1987 dalam Forman, 1995). Menurut Hutt (1949) tolak ukur keberhasilan dari inseminasi pada ternak unggas dapat dilihat dari besarnya fertilitas telur yang dihasilkan, daya tetas dan produksi telur merupakan sifat yang diwariskan oleh tetua kepada keturunannya, meskipun sedikit kontribusinya.

Salam Peternak

Menyediakan berbagai macam ternak kesayangan berkualitas mulai dari AYAM KETAWA, AYAM SERAMA, KUCING, LANDAK MINI dan AJING. (Ternak2 tersebut merupakan hasil budidaya sendiri dan kelompok) Buat teman2 yang berminat silahkan hub. 0856 4349 0370