Ayam hutan Srilangka/Ceylon Junglefowl (Gallus lafayetii, Lesson 1831)
Ayam hutan Srilangka adalah burung endemik yang memiliki daerah sebaran terbatas di Pulau Srilangka. Nama ilmiah ayam ini, didedikasikan oleh Rene Lesson, seorang ahli bedah angkatan laut dan naturalis berkebangsaan Perancis, untuk menghormati seorang bangsawan di negaranya, Gilbert du Motier-Marquis de La Fayette. Rene Lesson tercatat sebagai ilmuwan Eropa pertama yang melihat burung Cendrawasih di habitat aslinya, di Maluku dan Papua.
Ayam hutan Srilangka memiliki warna dasar hitam, dengan warna kuning keemasan di leher dan warna jingga gelap di sekitar punggung. Wajah berwarna merah dengan jengger merah berbentuk bilah besar yang bergerigi. Bagian tengah jengger berwarna kuning. Sepasang gelambir cukup besar menggantung di bawah dagu. Kaki berwarna kuning kemerahan dengan taji yang agak lurus dan runcing. Ekor memiliki warna hitam hijau keunguan dengan susunan yang serupa dengan ayam hutan merah.
Panjang ayam jantan berkisar 66-73 cm dengan berat 0,8-1,2 kg. Betina jauh lebih kecil, dengan panjang 30-35 cm dan berat 0,5-0,6 kg. Ukuran jengger akan mengecil setelah melewati musim kawin. Profil ayam hutan Srilangka dapat dilihat pada Gambar 27. berikut ini.
Gambar 27. Ayam hutan Srilangka. Sumber: Wikipedia.
Ayam betina memiliki warna tubuh coklat yang suram. Bulu dada agak besar dengan warna dasar coklat. Tepi bulu dada berwarna putih. Ciri khas dari ayam hutan Srilangka betina terletak pada bulu sayapnya yang berwarna belang antara coklat dan putih (Gambar 28). Betina bersarang di tanah dengan 2-4 telur berwarna krem atau coklat.
Ayam hutan Srilangka memiliki perilaku bersarang yang unik dibandingkan ayam hutan lainnya. Ayam hutan betina cenderung bersifat polyandri dan berhubungan dengan beberapa pejantan yang masih bersaudara.
Pejantan paling dominan (pejantan alfa), bertugas mengawini betina dan siaga melindungi betina. Pejantan alfa memiliki bunyi kokok tertentu yang berfungsi seperti alarm, jika sesuatu yang berpotensi bahaya mendekati sarang.
Pejantan Beta yang lebih inferior, bertugas menjaga dan berpatroli agak jauh dari sarang betina untuk melindungi sarang dari predator atau pemangsa seperti ular dan musang. Telur akan menetas setelah dierami selama 20 hari.
Gambar 28. Ayam hutan Srilangka Betina. Sumber: Wikipedia.
Sebagaimana ayam hutan lainnya, ayam hutan Srilangka bersifat terestrial. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari makanan dengan mengais tanah di lantai hutan untuk mencari biji-bijian, buah yang jatuh dan serangga. Anak ayam yang masih muda sangat membutuhkan asupan makanan hidup, berupa berbagai jenis serangga dan juvenil kepiting darat. Sedangkan ayam dewasa memiliki menu yang lebih bervariasi.
Ayam jutan Srilangka sangat peka terhadap penyakit yang menyerang ayam ras atau ayam kampung pada umumnya. Ayam ini juga terbiasa memakan mangsa yang hidup, sehingga tidak bisa mengkonsumsi makanan buatan pabrik. Oleh karena itu, ayam hutan Srilangka sangat sulit dipelihara di penangkaran.
Status Konservasi
Populasi ayam hutan Srilangka yang masih banyak ditemukan di habitatnya, membuat IUCN memasukkan ayam ini dalam kategori Least Concern atau berisiko rendah untuk mengalami kepunahan. Jika populasi ayam ini dalam kondisi kritis di habitat aslinya, akan sangat sulit mencegahnya dari kepunahan, sebab ayam hutan Srilangka ini cukup sulit dikembangbiakkan di penangkaran. Wali Kukula, demikian masyarakat setempat memberi nama ayam hutan ini, juga dikenal sebagai burung nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar